Dalam bab ke-9 The Odyssey, Homer memperkenalkan suku yang agak misterius dan unik dalam mitologi Yunani suku pemakan lotus, atau yang dalam bahasa Yunani disebut Lotophàgi. Meskipun cerita ini tidak sebesar beberapa peristiwa besar lainnya dalam perjalanan Odysseus, ada pesan tersirat yang cukup menarik. Kisah ini bisa dilihat sebagai kritik terhadap gaya hidup dan nilai-nilai tertentu yang berlaku di zaman itu, mungkin sebagai peringatan tentang bahaya berlarut-larut dalam kebiasaan atau cara hidup yang tidak sehat.
Suku pemakan lotus ini memang sering jadi bahan perdebatan para ahli mitologi Yunani. Banyak yang masih berusaha mengungkap makna lebih dalam dari kisah ini, karena interpretasinya belum benar-benar disepakati. Jadi, bisa dibilang, kisah ini tetap menyimpan misteri hingga sekarang.
Cerita ini dimulai setelah Odysseus dan pasukannya menyerang suku Cicones dan mencuri persediaan makanan mereka. Sebagai balasan, Zeus mengirimkan badai besar yang mengacak-acak perjalanan mereka, yang akhirnya membawa armada mereka ke pulau Djerba, yang sekarang ada di Tunisia. Di sinilah pertemuan dengan suku pemakan lotus terjadi.
Odysseus, yang khawatir karena tiga anak buahnya yang dikirim untuk mencari bantuan tak kunjung kembali, memutuskan untuk pergi mencari mereka. Nah, di sinilah ia bertemu dengan suku pemakan lotus. Meskipun orang-orang di sana tidak bersikap agresif, Odysseus mulai curiga karena pasukannya sudah lama hilang tanpa kabar.
Ternyata, pasukan Odysseus tidak diserang, tapi mereka malah “terjebak” oleh kebiasaan makan buah lotus yang membuat mereka melupakan segalanya. Suku pemakan lotus ini hidup dalam cara yang sangat sederhana, sebagian besar hidup mereka hanya berfokus pada membudidayakan dan mengonsumsi lotus. Secara sosial, ini menunjukkan bagaimana kebiasaan makan bisa menjadi cerminan cara hidup sebuah kelompok.
Tapi, kalau kita pikirkan lebih dalam, cara hidup yang sederhana ini mungkin punya makna lain. Seperti yang dikatakan Homer, siapa pun yang mencicipi buah lotus, rasanya begitu manis sehingga mereka tidak mau kembali lagi. Mereka memilih untuk tinggal di sana dan terus menikmati buah tersebut, lupa akan segalanya, bahkan asal-usul mereka sendiri.
Beruntungnya, dengan adanya studi arkeologi dan pengetahuan botani, kita akhirnya bisa mengidentifikasi jenis lotus yang dimaksud dalam cerita ini. Menurut Pedanius Dioscorides, seorang dokter dan ahli botani Yunani kuno, jenis lotus yang dimaksud adalah cyrenaic lotus, yang berasal dari daerah sekitar Lebanon dan Tunisia, dan dikenal dengan nama ziziphus lotus. Buah ini, yang lebih dikenal sebagai jujube, memang sering digunakan dalam berbagai masakan tradisional dan bahkan dikenal memiliki efek memabukkan, yang bisa menjelaskan kenapa para pemakan lotus ini bisa begitu terikat pada buah tersebut.
Jujube ini ternyata juga digunakan oleh suku-suku di Afrika Utara, yang menurut sejarawan kuno Polybius, menjadikannya bagian dari makanan sehari-hari mereka. Mereka bahkan punya cara unik untuk mengawetkan buah ini, baik untuk memberi makan pelayan atau untuk konsumsi orang bebas.
Jadi, meskipun suku pemakan lotus tampaknya hidup dalam kedamaian dan kesederhanaan, cerita ini juga bisa dibaca sebagai peringatan terhadap bahaya terlalu nyaman dalam rutinitas atau kebiasaan yang bisa membuat kita lupa akan tujuan hidup kita yang sebenarnya.