Tajikistan merupakan negara di Asia Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Baru-baru ini, dewan tinggi parlemen di negara tersebut mengeluarkan undang-undang kontroversial di bawah kepemimpinan ketuanya, Rustam Emomali. Undang-undang tersebut melarang “pakaian asing” di Tajikistan, menargetkan jilbab dan pakaian tradisional Islam lainnya yang berasal dari Timur Tengah. Pemerintah berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme. Secara khusus, dilarang mengenakan, mengimpor, menjual, dan mengiklankan jilbab, dan warga dianjurkan untuk mengenakan pakaian tradisional Tajik. Presiden Rahmon telah menerapkan berbagai aturan formal dan informal untuk mencegah negara-negara tetangga mempengaruhi Tajikistan, sehingga memperkuat kendalinya atas negara tersebut.
Tajikistan telah mengalami perubahan politik dan sosial yang signifikan. Negara ini memperoleh kemerdekaan pada tahun 1991 setelah runtuhnya Uni Soviet dan sejak itu berjuang untuk membangun pemerintahan dan perekonomian yang stabil. Presiden Emomali Rahmon telah berkuasa sejak tahun 1992, menjadikannya salah satu pemimpin yang paling lama menjabat di wilayah tersebut. Meskipun merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim, Tajikistan menghadapi tantangan ekstremisme agama, yang menyebabkan tindakan keras pemerintah terhadap praktik dan pakaian Islami.
Pengesahan undang-undang anti-pakaian asing mencerminkan upaya pemerintah untuk menegaskan kontrol atas praktik keagamaan dan budaya di Tajikistan. Dengan melarang jilbab dan pakaian Islami lainnya, pemerintah bertujuan untuk mempromosikan identitas nasional sekuler dan mencegah penyebaran ideologi ekstremis. Namun, para kritikus berpendapat bahwa langkah ini melanggar kebebasan beragama dan keberagaman di negara tersebut. Pembatasan pakaian asing dapat menyebabkan ketegangan lebih lanjut antara pemerintah dan komunitas agama, yang berpotensi memicu keresahan sosial.
Undang-undang ini dapat membantu melestarikan warisan budaya dan tradisi Tajikistan. Dengan mendorong penggunaan pakaian nasional, pemerintah berupaya memperkuat rasa identitas nasional dan persatuan di antara warganya. Selain itu, hal ini juga dapat mencegah pengaruh ideologi asing yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Larangan pakaian asing juga dapat dianggap sebagai tindakan untuk melindungi wanita dari ekstremisme dan pemaksaan agama.
Undang-undang tersebut telah memicu kritik dan kekhawatiran baik di dalam negeri maupun internasional. Banyak yang menganggapnya sebagai pelanggaran kebebasan beragama dan hak asasi manusia, dengan alasan bahwa individu seharusnya memiliki hak untuk menjalankan keyakinannya dan mengenakan pakaian keagamaan tanpa campur tangan pemerintah. Larangan jilbab mungkin berdampak besar terhadap perempuan Muslim di Tajikistan dan membatasi kebebasan mereka untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka. Selain itu, undang-undang tersebut dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara tetangga yang mayoritas penduduknya Muslim dan organisasi internasional yang mengadvokasi kebebasan beragama dan toleransi.
Disahkannya undang-undang anti-pakaian asing di Tajikistan menyoroti interaksi yang kompleks antara identitas agama, nilai-nilai budaya, dan kontrol pemerintah. Meskipun pemerintah bertujuan untuk melestarikan budaya nasional dan mencegah ekstremisme, undang-undang tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai hak individu dan kebebasan beragama. Ke depan, penting bagi pemerintah untuk terlibat dalam dialog dengan komunitas agama dan masyarakat sipil untuk mengatasi permasalahan ini dan memastikan bahwa kebijakan mendorong inklusivitas dan menghormati keberagaman di Tajikistan.